Title: BLACKOUT
Author: *Wulan Sari
*Junesito Widyo
Pramesti
*Ika Silviany
Genre: Action, Romance, Sad, School Life, etc
Cast: *Jo Sung Min (Wulan Author)
*Jo Kwang Min
(BOYFRIEND)
*Jung Yeon Mi (Junes
Author)
*Oh Se Hoon (EXO)
*Kim Jong In (EXO)
*No Min Woo (BOYFRIEND)
*Jung Yong Kyo (Ika Author)
*Gong Chan Shik (B1A4)
*Jin Soo Man (OC)
*Jin Song Man (OC)
*Yang Min Hyun (OC)
*Park Tae Rin (OC,
temen authors)
*Xi Lu Han (EXO)
Length: Chaptered (PART. 2)
Rating: T
Disclaimer: FF ini dibuat asli oleh para author yang kece ini. FF ini
dibuat berdasarkan khayalan para author yang rada gaje ini. Para personil
boyband yang ada di FF ini juga tidak dibayar sedikit pun (?)
Copyright: Dilarang plagiat or share ulang, karena melanggar UU RI No.
19 tahun 2002 TENTANG HAK CIPTA dan Pasal 72 KETENTUAN PIDANA SANKSI
PELANGGARAN
The story is begin...
****************************************************************
“Hayoo...
Mau ngapain?!” sebuah suara cempreng mengagetkan mereka dan Sungmin pun
menjauhkan wajahnya kembali.
Sehun dan Yeonmi terkikik geli melihatnya.
Sungmin merasa wajahnya panas dan memerah, entah itu malu atau... marah?
Sungmin mendelik ke arah Sehun dan Yeonmi yang masih tertawa geli. Sehun yang
melihat tatapan tajam dari Sungmin langsung memberi aba-aba pada Yeonmi untuk
diam dan segera melarikan diri. Minwoo? Ckckck. Dia sudah kabur pemirsah.
“Kau
mau mengacaukanku, paboya. Lihat saja suatu saat nanti aku akan mengganggu
kesenanganmu juga.”
Sungmin terdiam sesaat dan tiba-tiba
tersenyum. Mata indahnya kemudian berbinar. Senyuman masih menghiasi wajahnya.
Ia kemudian langsung pergi juga.
***
Bruk! Sungmin melemparkan tasnya ke jok
belakang mobilnya. Brak! Ia membanting pintunya. Kegiatannya hari ini sungguh
melelahkan. Ia menghirup sedikit udara. Dengan gerakan cepat, dasi yang
tergantung di lehernya sudah terlepas.
“Huh,
lain kali aku akan kabur saat pelajaran olahraga seperti tadi,” gerutu Sungmin
setelah melemparkan dasinya ke jok belakang.
“Sungmin-ah!”
panggilan itu langsung membuat Sungmin membalikkan tubuhnya.
“Yoonsoo
oppa?” bagaikan tersihir, Sungmin langsung terdiam menatapnya.
Namja itu tersenyum manis ke arah Sungmin. Ia
berjalan mendekatinya. Sungmin masih menatapnya. Tatapan, senyuman, wajah, dan
apapun yang ada di tubuhnya benar-benar mirip dengan sosok Park Yoon Soo.
“Yoonsoo
oppa, bogoshippoyo,” gumam Sungmin.
“Kau
masih menganggapku mirip dengannya ya?” ucapan itu langsung berhasil
menyadarkan Sungmin.
“Kai?!”
suara Sungmin berubah serak.
“Aku
sedih kau selalu menganggapku dalam bayang-bayang Park Yoon Soo. Bisakah kau
melupakannya? Ia sudah cukup tenang di sana untuk menatapmu tersenyum,” ucap
Kai.
“Mianhae,”
suara lirih yang hampir tak terdengar itu muncul bersamaan dengan buliran
bening yang membasahi pelupuk matanya.
Grep! Kai yang mengerti bagaimana keadaan
Sungmin saat ini langsung memeluknya erat. Membiarkan suara tangisan Sungmin
teredam oleh tubuhnya. Membiarkan air mata yeoja itu membasahi seragamnya. Ia
tahu, hanya ini yang bisa ia lakukan untuk yeoja dalam pelukannya.
“Aku
tahu, kecelakaan saat itu masih membuatmu terluka sampai sekarang. Aku bisa
mengerti perasaanmu. Park Yoon Soo, jadikanlah dia sebagai mimpi indahmu.
Jalanilah hidupmu dengan normal seperti saat dia belum menyentuh hidupmu. Aku
tahu, aku memang egois. Tapi hal ini juga untuk kebaikanmu,” jemari Kai
bertautan di sela-sela rambut Sungmin, membelainya dengan sayang.
“Mianhae,”
ucap Sungmin lagi.
Drrrtt... Drrrtt...
Ponsel Sungmin berbunyi. Ia melepaskan
tubuhnya dari Kai. Sungmin merogoh saku blazzernya untuk mengambil benda
persegi panjang yang menggetarkan dirinya tadi. 1 New Message. Minwoo. Sungmin
segera membuka pesan singkat itu. Tiba-tiba ia tersenyum menampilkan smirk
khasnya. Ah, bisakah orang lain mengerti perasaannya dengan benar saat ini?
Sepertinya tidak. Ia terlalu banyak memiliki kebiasaan yang tak terduga.
Received.
From: No Min Woo
Temui aku di bangunan tak terpakai dekat
Cheonan besok. Apa kau bisa?
Send.
To: No Min Woo
Hm, arra. Aku bisa. Pukul berapa?
Received.
From: No Min Woo
9 pm. Tempat itu markas kita. Aku sudah
menyewanya. Sedikit jauh memang. Tapi tempat itu jauh dari keramaian dan tidak
terlalu mencolok.
Send.
To: No Min Woo
Terserah kau saja
Pip! Sungmin langsung mematikan ponselnya dan memasukkan kembali benda itu
ke dalam saku blazzernya. Kai langsung
menatapnya heran seolah mengatakan ‘Itu dari siapa?’. Sungmin yang mengerti
arti tatapan itu langsung tersenyum.
“Dari
tikus got bernama Minwoo. Wae?” tanya Sungmin.
“Oh.
Apa yang dia katakan?”
“Kenapa
kau ingin tau?”
“Ah, anni. Lupakan
saja.”
“Ehm, ada yang ingin
ku tanyakan padamu.”
“Mwo?”
Kai menaikkan satu alisnya.
“Kenapa
kau kemari?” Sungmin menatapnya curiga.
“Aku
ingin memintamu menemaniku ke cafe.”
“Baiklah.
Kajja. Sepertinya aku juga sedang butuh menghirup udara bebas.”
“Kau
mau bareng denganku?”
“Anni.
Aku bawa mobil. Bagaimana kalau kita balapan saja?” Sungmin tersenyum penuh
arti pada Kai.
“Mwo?!
Kau ingin kalah dariku? Baiklah, kalau begitu kita taruhan. Jika aku sampai
duluan di Heaven Cafe, kau harus mentraktirku ramen selama satu bulan dengan
kau yang harus selalu menemaniku.”
“Oke.
Kita lihat saja nanti. Jika aku duluan yang sampai di Heaven Cafe, kau harus
membelikanku 5 PSP. Otte?”
“Kau
maruk sekali, Sungmin-ah. Tapi, baiklah kajja!” Kai langsung berlari menuju
mobilnya.
Kini mobil yang ditumpangi Kai sudah berada di
samping mobil yang ditumpangi Sungmin. Sungmin membuka kaca jendela mobilnya.
Begitu pula yang dilakukan oleh Kai.
“Kita
mulai saat lampu merah di sana berubah hijau,” Sungmin memberikan aba-aba.
“Ne.
Arra,” balas Kai.
Klik! Keduanya menutup jendela bersamaan. Mata
Sungmin kadang beralih menatap Kai yang dengan siaga memandangi lampu lalu
lintas itu. Sungmin segera mengalihkan pandangannya. Hijau! Keduanya langsung
tancap gas. Kedua mobil itu melaju sangat kencang hingga membuat banyak mobil
minggir dan para pengguna jalan menatap aksi keduanya. Mungkin mereka berpikir
sedang ada pembuatan film.
Blam! Sungmin menutup pintu mobilnya kencang.
Dengan gagahnya, ia sudah berdiri di depan cafe menunggu mobil Kai. Sreet!
Mobil Kai akhirnya tiba. Sungmin tersenyum penuh arti pada Kai yang masih ada
di dalam mobil.
“Ya!
Mana boleh yeoja menaiki mobil seperti itu? Kau mantan pembalap ya?” ujar Kai
setelah keluar dari mobilnya.
“Haha,
mengakulah saat kau kalah. Ingat janjimu...” Sungmin tersenyum penuh
kemenangan.
“Arra.
Tapi kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku
bukan mantan pembalap. Kau tau kan, dulu saat aku bermain track sewaktu kecil
appa dan eommaku tidak suka. Makanya dari itu aku tidak pernah boleh untuk
menjadi pembalap walaupun aku ingin.”
“Hilangkanlah
sikap namjamu itu.”
“Naneul
su eobseo (aku tak bisa).”
“Aku
sudah tau kau akan mengatakan itu.”
“Jika
sudah, kau tak perlu menanyakannya lagi kan?”
“Ne,
ne, arraseo. Sudahlah, kajja masuk,” ajak Kai
***
Terlihat seorang yeoja sedang memainkan
pianikanya yang berwarna nyentrik alias kuning bergambarkan pikachu di ruang
musik. Pianika itu adalah pianika kesayangannya yang selalu dibawanya kemana
pun ia pergi. Pernah saat sedang pergi dengan Sungmin yeoja itu membawa
pianikanya, hal itu membuat Sungmin kesal karena menurutnya itu cukup memalukan
untuk dibawa hingga nasib pianika itu begitu malang karena Sungmin hampir
membuangnya. Ya, Jung Yong Kyo. Wajahnya terlihat kusut seperti pakaian yang
tak disetrika selama lima puluh tahun dan lagu yang ia mainkan sungguh
aneh-cenderung tidak jelas.
“Heh,
yeoja pianika!” panggil seseorang.
Yongkyo menghentikan permainan tidak jelas
dari pianikanya. Ia menoleh ke sumber suara. Ditatapnya namja tinggi dan tampan
yang sudah berdiri tegap di balik pintu.
“Wae?
Kau memanggilku?” tanya Yongkyo.
“Ne,
siapa lagi di ruangan ini selain kau ‘yeoja pianika’?” jawab namja tersebut
santai.
Ya, namja itulah yang bernama Jo Kwang Min,
kakak Sungmin. Sikapnya sungguh berbeda dengan adiknya, walau ada persamaan sedikit
yaitu dimensi mereka yang selalu berubah. Kwangmin cenderung lebih seperti
sikap yeoja, dan itu berbalik dengan Sungmin yang seperti namja. Kadang Yongkyo
berpikir sepertinya ada kesalahan teknis saat mereka berdua dalam kandungan
eommanya.
“Bisakah
kau memanggilku dengan sebutan yang lebih keren? Seperti ‘yeoja pianis’ atau
‘komposer Yong’ atau bahkan ‘musisi Yong’?” ucap Yongkyo sembari menatap
Kwangmin sinis.
“Sirheo!
Kau saja memainkannya sangat jelek bahkan permainanmu barusan mengalahkan
kejelekan permainan bayi berumur dua bulan. Bagaimana bisa aku memanggilmu
dengan sebutan ‘yeoja pianis’ atau semacamnya?” jawab Kwangmin seraya memandang
remeh ke arah Yongkyo.
“Yak!
Mulutmu itu tertular Sungmin ya? Ah... Jinjja... Kau namja menyebalkan! Aku begini
karena sedang galau. Arra?!” ucap Yongkyo sambil memonyongkan bibirnya seperti
biasa.
“Oh,
begitu rupanya. Pantas saja saat ini wajahmu terlihat lebih jelek dari
biasanya.”
“Yak!”
bentak Yongkyo.
“Hey!
Kau juga menyukai pikachu?” teriak Kwangmin tiba-tiba seraya mengambil pianika
yang ada di depan Yongkyo.
“Ne,
lalu? Itu masalah buatmu?” jawab Yongkyo singkat.
“Koleksi
apa yang kau punya? Bolehkah aku berkunjung ke rumahmu? Boleh ya? Boleh ya?
Please!” ujar Kwangmin berubah dari namja acuh menjadi seperti anak TK,
Kwangmin memohon-mohon kepada Yongkyo agar dibolehkan.
“Anniya!
Andwe! Andwe!” teriak Yongkyo lebay seakan-akan terjadi sesuatu.
“Mengapa
tak boleh? Waeyo?”
“Jika
kau ke rumahku, kau akan menjadi korban yang kedua.”
“Mwo?
Korban? Maksudmu?”
“Eommaku
itu genit, kemarin saja Gongchan sudah menjadi korban pertamanya. Makanya
sekarang aku di sini, aku sedang frustasi dan malu pada Gongchan. Pasti dia
tidak mau bertemu denganku lagi, dih.. Aku sangat kesal melihat kelakuan
eomma... Hrgg..!!” jelas Yongkyo seraya memukul-mukul meja yang ada di dekatnya
sampai mejanya patah.
Tet... Tot... Tet... Tot... Tet...
Toooooott... Suara aneh bin ajaib itu muncul lagi. Yongkyo mulai memainkan
pianikanya dengan tak jelas lagi. Hal ini langsung membuat Kwangmin segera
menutup telinganya.
“Geumaheeee!
Suara itu membuat telingaku hampir pecah, kepalaku mual, dan perutku pusing.
Jelek sekali,” ucap Kwangmin kesal, dia kemudian menarik tangan Yongkyo dan
membawanya pergi.
***
Blam! Sungmin menutup pintu mobilnya lumayan
keras. Matanya menelusuri setiap inchi bagian depan bangunan yang ada di
hadapannya. Bangunan yang tak selesai dan sudah dipenuhi banyak lumut.
“Dia
bilang ini markas? Oh sungguh dia ini...” gumam Sungmin lalu pergi.
Sungmin mulai memasuki bangunan itu dengan
langkah pelan namun tak meyakinkan. Entah kenapa perasaannya was-was saat ini.
Ia merasa seperti akan terjadi sesuatu.
“Kau
sudah sampai?” suara itu membuat Sungmin hampir terpeleset karena kaget.
Sungmin membalikkan tubuhnya dan mendapati
namja cute itu sedang menatapnya dalam. Sungmin menghembuskan nafas lega. Namja
itu tampak tersenyum padanya.
“Ne.
Aku sudah datang. Kenapa kau memilih bangunan seperti ini?” ujar Sungmin,
matanya masih menatap setiap sisi bangunan yang dipilih Minwoo untuk dijadikan
tempat markas mereka.
“Naik
apa? Tak ada motor di depan. Supaya tak ketahuan, bukankah aku sudah bilang?
Kau lupa?”
“Memang
tak ada. Aku tidak naik motor, aku naik mobil.”
“Bukankah
kau...”
“Mulutmu
itu ada berapa sih? Kenapa kau banyak sekali bicara? Lalu kapan kita mulai?
Jika hanya untuk mengucapkan hal begini, lebih baik aku pulang lagi. Ini hari
libur berhargaku.”
“Eh,
ne... Mianhae. Kajja masuk, ikut aku.”
Minwoo mulai melangkahkan kakinya, berjalan
melewati Sungmin yang masih berdiri diam di tempatnya. Ia berjalan menuju suatu
ruangan. Ceklek! Gelap dan err... Sedikit horor pemirsah.
Tap... Tap... Tap...
Sungmin mengikuti Minwoo memasuki ruangan itu.
Klik! Sungmin berkedip untuk membiasakan cahaya yang baru saja masuk ke matanya.
Sungmin mendelik mengetahui isi ruangan itu. Ruangan berukuran 7x9 itu diisi dengan meja kerja
berukuran 2x1 meter yang di atasnya terdapat beberapa inspirational book, jam
pasir, dan beberapa amplop coklat. Di sampingnya ada satu kursi, meja tamu berbentuk
bundar dengan 4 kursi di sekelilingnya. Meja tamu dan kursi-kursi itu
diletakkan di sebelah timur laut meja panjang tadi. Sungmin hanya bengong dengan
wajah datar. Tapi Minwoo, ia hanya melemparkan smirknya.
“Berkasnya
ada di meja itu. Aku mau keluar dulu,” ucap Minwoo.
“Yak!
Mwo? Keluar? Kau mau kemana?” tanya Sungmin.
“Mau
beli camilan,” jawab Minwoo singkat.
“Oh,
kalau begitu yang mana berkasnya?”
“Amplop
cokelat. Pelajarilah,” ujar Minwoo sambil berlalu.
Sepeninggal Minwoo, Sungmin mendekati meja
panjang itu. Ia terdiam sejenak memandangi amplop coklat yang sudah tertidur
rapi di atas meja. Jemari lentiknya mulai menyentuh permukaan amplop itu dan
mengambilnya. Ia mengamati setiap sisi
amplop itu, terasa sedikit mencurigakan. Kedua alisnya saling bertaut melihat
barisan data dalam berkas-berkas itu.
Sreeet... Sreeet...
Sungmin menoleh ke arah sumber suara. Alisnya
berkerut curiga. Ia terdiam lagi beberapa detik, namun ia mengabaikannya dan
kembali fokus pada berkas-berkas di hadapannya.
“Ku
rasa ada sesuatu yang mengintaiku. Aku harus waspada,” batin Sungmin.
Tuk... Tuk... Tuk...
Benda-benda yang menjadi barang bukti itu
berjatuhan di meja. Sungmin menatapnya aneh. Benda-benda itu nampak ganjil.
Tiba-tiba ia melebarkan matanya saat menatap pisau lipat yang sudah disterilkan
di dalam plastik khusus.
“Ige
mwoya? Ini sidik jari? Yang benar saja, ukurannya bahkan lebih besar dari
ukuran sidik jari manusia dan ini juga terlalu berbeda untuk menjadi sidik
jariku. Apa Minwoo berniat menjebakku dengan memalsukan ini? Ah, ige mwoya?
Pisau lipat? Kenapa JSM? Apa ini untuk inisial namaku? Aku bahkan tak pernah
membawa pisau lipat ke sana saat itu, lagi pula sejak kapan pisau lipat milikku
bisa bertuliskan JSM? Aigoo, kau sedang diawasi paboya! Apa yang ku katakan?”
Sungmin sibuk dengan dirinya sendiri ia terus mengacak-acak rambutnya.
Begitulah, Sungmin terus berbicara sendiri
selama Minwoo masih belum memasuki ruangan itu. Ia kadang menepuk kepalanya
sendiri karena terlalu blak-blakan padahal sudah tahu ini bukan di rumahnya dan
ia sedang diawasi.
Ceklek. Minwoo datang membawa banyak makanan
ringan dan softdrink. Ia tersenyum sekilas ke arah ruangan gelap yang tak jauh
dari tempat Sungmin duduk.
“Minumlah,”
Minwoo langsung menyodorkan sekaleng minuman softdrink untuk Sungmin.
“Aku
tidak haus,” tolak yeoja itu.
“Jangan
terlalu memaksakan dirimu. Hm?”
“Arraseo,”
akhirnya Sungmin menerima minuman itu.
“Apa
yang kau temukan?” tanya Minwoo ketika Sungmin sudah meletakkan kaleng
softdrinknya.
“Otakku
sedang bermasalah. Sepertinya aku sedang tidak bisa berpikir jernih saat ini,”
jawab Sungmin dengan mata yang masih fokus pada berkas-berkas itu.
“Jangan
dipaksakan. Kajja kita menganalisisnya bersama,” ujar Minwoo seraya duduk di
samping Sungmin.
“Dan
sepertinya ini akan menjadi pertemuan terakhir kita untuk melakukan analisis,”
gumam Sungmin.
“Apa
maksudmu?” tanya Minwoo.
“Mwo?
Memang apa yang aku ucapkan?” Sungmin malah balik bertanya.
“Pertemuan
terakhir kita,” jawab Minwoo.
“Ah,
itu pasti ucapan bawah sadar tubuhku,” Sungmin hanya tersenyum aneh.
Sudah 3 jam mereka lalui untuk mendiskusikan
hal itu dengan berbagai perbedaan pendapat dalam menganalisis berkas itu.
Sebenarnya analisis ini menurut Sungmin adalah hal yang tidak penting walau ia
tidak tahu alasannya.
“Sepertinya
aku harus pulang sekarang,” ucap Sungmin sembari beranjak dari duduknya.
“Ya,
sepertinya ini sudah cukup siang.”
“Ya
sudah. Aku pulang dulu. Untuk masalah itu kita bicarakan lain kali jika ada
kesempatan.”
“Ne.
Annyeong. Titi DJ.”
“Hah?”
“Hati-hati
di jalan maksudnya.”
“OH.”
Sungmin langsung berlari dan memasuki
mobilnya. Blam! Pintu mobil itu sudah tertutup rapat. Brmm... Hanya dalam
hitungan detik, mobil itu sudah pergi meninggalkan markas itu. Minwoo tersenyum
lagi. Ia kemudian masuk lagi ke ruangan itu.
“Moussie,
kajja kemarilah,” panggil Minwoo.
Seekor tikus kecil berwarna putih berlari
menghampiri Minwoo yang sedang menengadahkan tangannya untuk mengambilnya.
Minwoo mengelus lembut rambut tikus kecil itu. Sret! Sebuah alat perekam atau
biasa disebut penyadap suara berukuran sangat mini berhasil didapatnya.
“Gomawo,
Moussie. Tikus pintar,” puji Minwoo dengan senyum kemenangannya.
***
Ceklek! Baru sampai di ruang tamu suara
kegaduhan itu semakin terdengar menjadi-jadi. Prang! Entah ufo yang biasa
disebut piring itu berasal dari mana, yang pasti ufo itu sudah mendarat dengan
tidak mulus tepat di tembok yang ada di samping Yeonmi hingga pecah.
“HENTIKAN!”
teriak Yeonmi.
Kompak. Kedua orangtua Yeonmi langsung
menghentikan pertengkarannya dan memandang heran ke arah Yeonmi. Eommanya
langsung mendekatinya dan menyentuhnya, tapi Yeonmi menahannya. Ia langsung
berjalan pelan menuju ke kamarnya.
“Jika
kalian ingin bertengkar lagi jangan pernah lakukan di rumah. Lakukanlah di
lapangan agar semua orang bisa mendengar suara-suara konyol kalian. Aku sudah
terlalu lelah mendengarnya,” ucap Yeonmi sebelum masuk ke kamarnya.
***
Ceklek! Sungmin membuka pintu rumahnya
perlahan. Jam sudah menunjukkan pukul 11:45 pm KST. Sudah cukup larut. Ia
berharap Kwangmin, oppanya, sudah tertidur lelap. Klik. Terang. Sosok yang ia
takutkan kini sudah berdiri di hadapannya.
“Mau
menukar kunci?” ujar Kwangmin setelah menyalakan lampu dan menunjukkan kunci
mobil Sungmin.
“Ne.
Ku harap kau tak marah mengetahuiku menculik Silky Blue milikmu,” ucap Sungmin
setelah menampakkan smirk khasnya.
“Lupakan!
Kau mau tidur dimana malam ini?”
“Memang
kau masih mau menampungku, hm?”
“Jaga
bicaramu! Kau ini dongsaengku! Mana mungkin aku tak mau menampungmu!”
“Eoh?
Dongsaeng? Jinjja? Kau masih menganggapku sebagai dongsaengmu rupanya? Sungguh
mengharukan. Haha!”
Kwangmin langsung mengerucutkan bibirnya
setelah mendengar kalimat Sungmin barusan. Ia berusaha meredam amarahnya. Ia
sungguh tak mau jika Sungmin pergi lagi meninggalkannya. Hanya dia yang ia
miliki.
“Terserah!
Kalau kau mau tidur di sini, masuklah! Kalau tidak silahkan pergi!” ujar
Kwangmin sambil berlalu.
“Yak!
Kau mengusirku eoh?! Yak! Pikachu pabo nappeun! Huwaaaa!!!”
“Mwo?
Itu terserah kau saja. Aku tak mengusirmu. Bukankah kau sendiri yang menyuruhku
untuk tidak mencampuri urusanmu?” sangkal Kwangmin enteng.
“Geurae.
Baiklah. Mianhae, karena telah mengganggu tidur nyenyakmu. Aku pergi. Annyeong.
Jangan harap aku kembali ke rumah ini lagi bahkan menginjakkan kaki di sini,”
Sungmin memberengut lalu mulai melangkahkan kakinya keluar.
“MIIINGG!
Kembali atau aku akan memukul kepalamu!” omel Kwangmin sambil menarik lengan
Sungmin.
“Yak!
Kau merindukanku eoh?” Sungmin mengerling nakal ke arah Kwangmin.
“Memangnya
kau pikir apa hah?! Aku sudah mencarimu kemanapun?! Bahkan kau melarang aku
masuk ke kantormu kan?! Apa maksudmu? Kau tidak ingin bertemu denganku?!” omel
Kwangmin yang langsung berteriak-teriak.
“Aku
sibuk dan tak bisa diganggu, mengertilah. Ya sudah kalau begitu. Kamarku... Aku
merindukanmu...” Sungmin dengan watadosnya langsung pergi ke kamarnya.
Kwangmin hanya menatap kesal punggung
dongsaengnya itu. Wajah namja itu terlihat seperti pakaian kusut yang tak
pernah dicuci. Ia akhirnya mengikuti dongsaengnya masuk. Kwangmin masih
tersenyum kecut mengamati yeoja tomboy itu.
Bruk! Sungmin langsung merebahkan tubuh
lelahnya ke tempat tidur bernuansa merah itu. Ia menerawang ke langit-langit
kamarnya yang bernuansa hitam putih itu.
“Semua
bukti itu tak mengarah padaku, siapa yang ia tuju? Bukankah yang melakukan itu
hanya aku? Ah sudahlah, lagi pula itu bukan urusanku,” pikir Sungmin bingung
kemudian langsung menarik guling dan memeluknya erat.
Ceklek! Pintu kamar Sungmin langsung terbuka.
Namja tampan itu hanya bisa berdecak kesal memandang dongsaengnya yang masih
tiduran itu.
“Apa
kau mau tidur dengan badan penuh keringat begitu? Mandilah dulu, lalu makan,”
ujar Kwangmin dari balik daun pintu kamar Sungmin.
“Hem,
ne, arraseo,” Sungmin bergegas ke kamar mandi, membersihkan badannya.
45 menit kemudian, Sungmin sudah keluar
kamarnya dengan berbalut hotpans dan T-Shirt longgar berlengan panjang berwarna
putih. Sungmin langsung berlari ke arah oppanya yang sedang menyiapkan makanan.
“Oppa
masak apa?” tanya Sungmin.
“Tumben
sekali kau tak memanggilku dengan sebutan Pikachu pabo?” Kwangmin tak segera
menjawab pertanyaan Sungmin.
“Baiklah.
Aku tarik ucapanku tadi. Pikachu pabo, kau masak apa?”
“Ttaebokki
dan nasi goreng kimchi.”
“Memang
kau bisa masak? Jangan sampai aku tidak masuk sekolah selama seminggu karena
memakan masakanmu.”
“Jangan
menghinaku Minnie jelek!”
“Chakkaman!
Bukankah Pikachu pabo lebih jelek dariku?” balas Sungmin sambil menjulurkan
lidahnya.
“Aish!
Sudahlah. Kajja kita makan, perutmu sudah berbunyi. Bertengkarnya nanti lagi,”
ucap Kwangmin sambil mengacak rambut dongsaengya.
Sungmin hanya tersenyum mendapat perlakuan
seperti itu dari oppanya. Sudah sangat lama. Ya, cukup lama hubungan keduanya
merenggang. Bahkan tegur sapa pun jarang. Entah ada malaikat darimana yang mau
mempersatukan keakraban mereka kembali. Kwangmin dan Sungmin makan malam dengan
tenang namun disertai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk basa-basi dan akhirnya
candaan lah yang muncul di antara keduanya untuk menghilangkan kesan canggung
di antara keduanya.
“Haaaah...
Aku sudah kenyang. Sudah ya, aku mau tidur dulu,” ucap Sungmin sambil menguap.
“Ne,
jaljayo. Nice dream Minnie-ah,” Kwangmin mengecup singkat kening dongsaengnya,
hal yang sejak kecil bisa membuat Sungmin berhenti bermimpi buruk.
Sungmin berjalan gontai menuju ke kamarnya.
Hingga... Tek! Ceklek! Bruk! Setelah mengunci pintunya, Sungmin kembali
merebahkan tubuhnya di tempat tidur king sizenya, dan mulai melayang ke alam
mimpinya hanya dalam beberapa detik. Sepertinya ia sungguh kelelahan hari ini.
***
Tok... Tok...
Tok... Tok...
Yongkyo membuka
pintu rumahnya malas. Ia masih baru terbangun dari tidurnya. Rambutnya masih
acak-acakan. Dan positifnya, ia belum mandi. Matanya pun masih tertutup.
Seorang namja tinggi hanya tersenyum melihatnya.
“Ku rasa kau harus bangun
dari tidurmu Nona Jung,” suara itu langsung membuat Yongkyo membuka matanya.
“Gongchan?” Yongkyo kembali
melebarkan matanya yang hampir tertutup lagi.
“Ne. Kajja kita berangkat
bersama lagi.”
“Kau masih mau datang kemari
setelah insiden memalukan kemarin?” Yongkyo menatap Gongchan tak percaya.
“Hanya insiden kecil
seperti itu. Sudah cepatlah kau mandi dan berangkat.”
“Ne, ne,” Yongkyo segera
masuk kembali ke dalam rumahnya.
***
Tok... Tok...
Tok...
“Yeonmi, ireonna! Ini sudah
siang! Kau mau berangkat sekolah jam berapa?!” panggil eomma Yeonmi ah anni
mungkin lebih tepatnya terdengar seperti teriakan.
“Emh.. Ne eomma, 5 menit
lagi,” lenguh Yeonmi.
“5 menit atau 5 jam?” seru
seseorang.
“Ngg... Tidak tau,” jawab
Yeonmi asal.
Yeonmi mendelik
lalu bangun, mempertajam pendengarannya. Benarkah ia tidak salah dengar? Suara
itu begitu terdengar mirip seseorang.
“Suara siapa itu? Bukan
suara eomma ataupun appa, apalagi suara oppa. Bukankah aku kini seorang anak
tunggal?” batin Yeonmi bingung.
Yeonmi merasa ada
sesuatu yang memperhatikannya. Yeonmi menolehkan kepalanya ke sebelah kirinya
perlahan.
“Kyaa!! Sedang apa kau di
sini?!” teriak Yeonmi kaget.
Seseorang itu
menatap Yeonmi dengan wajah datar, polos, dan pabo. Ia tampak tak memperdulikan
pertanyaan Yeonmi barusan.
“Sehun-ssi, sedang apa kau di
sini? Kenapa kau bisa masuk?” tanya Yeonmi heran.
“Aku? Aku tentu saja menunggumu
bangun. Tapi sayang, kau tak bangun bangun,” jawab Sehun watados.
Yeonmi hanya
melongo mendengar jawaban Sehun. Sehun menatap ke arah lain kemudian ia mulai
melihat jamnya sekilas, 06:15 am.
“Ekhem, kau mau mandi jam
berapa? Ini sudah cukup siang.”
“Memang jam berapa? Bukannya
baru jam 05:30?”
“Mwo? Jam 05:30 darimana?
Ini sudah jam 06:18. Kalau kau tak segera mandi kita akan terlambat!”
Yeonmi mengedipkan
kedua mataya. Imut. Yeoja yang sama lolanya seperti Sehun itu seperti sedang
berpikir sebentar. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Ia seperti teringat
sesuatu.
“Hah? Wah... Gawat...
Bagaimana ini?!” seru Yeonmi tiba-tiba dan segera melesat ke kamar mandi,
sedangkan Sehun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Yeonmi yang
nampak seperti seorang bocah TK.
Tap... Tap...
Tap...
Tak perlu menunggu
lama, Yeonmi sudah cantik dan rapi dengan seragam sekolahnya. Ia segera berlari
ke meja makan.
“Sehun-ssi, kajja! Kita
sudah terlambat,” seru Yeonmi sembari mengambil roti tawar dua lembar.
“Eoh? Kau sudah siap? Cepat
sekali,” jawab Sehun heran.
“Jangan tanya masalah itu.
Ayo, kita berangkat! Eomma, appa. Kami berangkat dulu ya,” teriak Yeonmi sambil
menarik tangan Sehun keluar rumahnya dan membawanya ke garasi.
“Eh, eh, eh. Aku bawa mobil.
Pakai mobilku saja,” ujar Sehun.
“Ah, ne. Kajja.”
Mereka mulai
memasuki mobil sport milik Sehun. Setelah keduanya memasang seatbelt, Sehun
langsung tancap gas. 120 km/jam. 15 menit kemudian mereka sudah sampai di
sekolah.
“Sudah ya, oppa. Aku ke kelas
duluan! Pai,” seru Yeonmi dan segera berlari ke rumahnya.
“Oppa? Dia memanggilku oppa?
Wahh... Yeay!” ujar Sehun bingung yang tiba-tiba jadi girang.
Sehun mulai
membalikkan badannya. Ia berjalan menuju kelasnya. Sepanjang koridor, Sehun
terus tersenyum senang. Hal ini membuat semua teman yang melewatinya merasa
takut pada sikap Sehun yang tidak seperti biasanya.
***
“Yak! Yongkyo-ah!” suara itu
langsung membuat Yongkyo mengendikkan alisnya.
Tap. Ia langsung
berbalik. Di hadapannya sudah berdiri seorang namja tampan. Yongkyo menaikkan
sebelah alisnya. Menatap detail namja itu dari atas ke bawah.
“Wae geurae?” tanya
Yongkyo.
“Yongkyo-ah, kau tahu
dimana Sungmin?” tanya namja itu.
“Molla. Dia tak bersamaku.
Dan... Tumben sekali kau tak memanggilku dengan sebutan ‘yeoja pianika’?”
“Aish. Terserah kau
saja,” ucap namja yang ternyata Kwangmin itu.
“Eh, tumben sekali kau
menanyakannya? Kalian sudah baikan?”
“Anni. Kami masih perang
dingin walau sudah sedikit mencair,” ucap Kwangmin sebelum pergi meninggalkan
Yongkyo yang masih heran dengan ucapan Kwangmin barusan.
***
Sunyi. Yang
terdengar hanyalah kriet-kriet ranting yang baru saja tertiup angin. Semilir
lembut itu menerbangkan rambut seorang yeoja cantik yang masih terdiam. Matanya
terpejam seakan menikmati setiap terpaan angin itu. Daun-daun kering menambah
suasana sunyi di tempat itu. Awal musim gugur, musim yang paling dibenci oleh
yeoja itu. Musim yang selalu saja mengingatkannya pada masa lalunya.
Mengingatkannya akan kematian tragis yang dialami oleh appanya. Mengingatkannya
pada saat eommanya frustasi akan kematian appanya kemudian memutuskan untuk
terjun ke Sungai Han dan akhirnya meninggal di sana. Mengingatkannya juga pada
awal mula perang dinginnya dengan oppanya sendiri.
“Minwoo-ah, aku tak sebodoh itu. Kau sudah
tahu jika aku pembunuhnya kan? Mianhae, aku melakukannya hanya demi satu hal.
Demi appaku. Apakah aku sejahat itu? Sudah 4 nyawa yang terbayar. Sampai kapan
pun aku tak akan berhenti,” gumam Sungmin sangat lirih dengan suara yang hampir
tak terdengar.
Suasana sunyi itu
kembali menyergap. Desiran angin terasa semakin kencang. Dua orang namja
berdiri di dua sisi berbeda. Mereka menatap lekat yeoja yang sedang berdiri
itu. Salah seorang dari kedua namja itu mulai mendekatinya perlahan. Hingga...
Grep! Bugh! Bugh!
Bruk! Grep! Namja itu terjatuh dan menarik sang yeoja hingga kini tubuh yeoja
itu berada di atas tubuh si namja.
“Arrghhh..” suara itu
seperti...
“Kai?!” Sungmin membelalakkan
matanya.
Grep! Kepala
Sungmin kini berada di dada bidang namja itu. Tangan Kai menahannya agar tak
berdiri sehingga terlihat seperti Sungmin sedang menindih Kai. Namja lain yang
sedang menatapnya terlihat begitu marah. Matanya nampak memerah, begitu pula
wajahnya. Ne, dia adalah Minwoo. Namja itu langsung pergi dari tempat itu.
“Yak! Singkirkan tanganmu dariku!”
omel Sungmin.
“Sirheo! Bukankah kau seperti
namja? Harusnya dengan mudah kau melepaskan diri dariku,” Kai membalasnya
dengan santai.
“Heh! Yadong akut! Ppali! Cepat
lepaskan aku! Kau pikir tubuhku sebesar dirimu, eoh?!”
“Bamsae neoman saenggakhe. Again
neoreul ijeul su isseulkka? Eonjekkaji naneun ireolkka? (Semalaman memikirkanmu
saja. Apakah dapat melupakanmu? Sampai kapan aku begini?)” gumam Kai.
“Mwo?!” sungguh Sungmin tidak
mengerti.
“Nan jeongmal saranghaeyo,
Sungmin-ah.”
“Kai...”
“Geumanhe. Aku akan baik-baik
saja walaupun aku tau kau tak akan membalas perasaanku.”
“Kai...”
“Diamlah. Dan... Jangan bergerak.
Aku ingin merasakan kehangatanmu untuk yang terakhir kali,” Kai semakin
mengeratkan dekapannya.
Sungmin menurut. Ia
terus diam. Kai tak membiarkan angin sedikitpun membuat celah di antara
keduanya. Perlahan dekapan itu mulai terlepas. Sungmin langsung berdiri dan
membetulkan pakaiannya. Kai sudah berdiri di hadapan Sungmin. Ia tersenyum,
senyuman yang lebih manis dari biasanya.
“Neo-ui gieogi nan jiwo jiji
anha. (Ingatan tentangmu bagiku tidak terhapus),” ucap Kai masih dengan
senyuman manisnya.
“Ne?” Sungmin mengedip-ngedipkan
matanya tanda tidak mengerti.
“Neol saranghago isseo. (Aku
mencintaimu).”
“Kai... Aku...”
“Aku akan pindah ke Jepang. Untuk
waktu yang lama atau... mungkin tidak. Jangan khawatir, aku akan selalu
mengabarimu tentang apa yang terjadi dan juga keadaanku.”
“Wae? Gajima.”
“Aku... Aku akan menjelaskannya
suatu hari nanti.”
Kai tersenyum
sekilas ke arah Sungmin. Dengan berat hati, Kai melangkahkan kakinya
meninggalkan Sungmin. Grep! Tangan mungil itu melingkar di sekitar dada Kai.
Sungmin memeluknya dari belakang.
***
“Aku seperti mengenal namja
bermasker bernama L itu,” ucap Kwangmin sambil terus membolak-balikkan kertas
yang ada di tangannya.
“Oppa yakin?” Yeonmi menatap
Kwangmin dalam.
“Sangat yakin. Tapi sayang, aku
masih belum ingat itu mata siapa. Huh,” Kwangmin langsung menghempaskan
tubuhnya ke sofa di sebelah Sehun.
“Dia benar-benar hebat. Tidak ada
bukti yang bisa digunakan untuk mengetahuinya. Baru pertama kali aku menemukan
hal sesulit ini,” ucap Sehun.
“Hyung, kata-katamu bagus. Tumben
sekali kau pintar. Kau menyontek dimana?” cibir Kwangmin.
“Aish! Diamlah kau!” Sehun langsung
melemparkan bantal yang ada di punggungnya ke arah Kwangmin.
“Sudahlah jangan bertengkar hanya
karena masalah sepele seperti itu,” Yeonmi mencoba menengahi.
***
Tuk! Sungmin
meletakkan headphonenya ke meja. Ia memandangi sekilas tangan kirinya. Ia
terdiam sesaat. Ceklek! Pintu kamarnya kini telah terbuka. Kwangmin mulai
mendekati dongsaengnya.
“Annyeong... Kenapa ada masker di
sini?” tanya Kwangmin setelah merebahkan tubuhnya di ranjang king size milik
Sungmin.
“Siapa yang mengizinkanmu masuk ke
sini?” Sungmin menatap Kwangmin dengan tatapan sinisnya.
“Aku setiap malam ke sini tanpa
izin,” jawab Kwangmin yang tidak nyambung sama sekali dengan pertanyaan Sungmin
barusan.
“Mwo?! Untuk apa?”
“Mengecup keningmu. Kau selalu
bermimpi buruk jika aku tidak melakukan hal itu.”
Sungmin hanya
terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Blushing! Kedua pipinya memerah. Walaupun
sekeren itu, di hadapan Kwangmin ia hanya seorang dongsaeng yang begitu lucu.
Kwangmin tersenyum menatapya.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Sungmin.
“Kembalinya seorang Jo Sung Min menjadi
dongsaengku yang dulu,” jawab Kwangmin.
“Akan ku pikirkan.”
“Mendengarmu berbicara seperti itu
membuatku bahagia.”
“Lalu kenapa kau masih di sini?”
“Kemampuanmu... Kenapa kau tak pernah mau
membantu kami untuk mencari seorang L? Tidakkah itu kasus yang membuatmu
tertarik? Bahkan setiap ada berita tentang L kau akan selalu menontonnya.”
“Aku bukan orang yang santai. Aku sosok
orang cukup sibuk. Aku tidak memiliki waktu untuk itu.”
“Itulah alasan semua orang memilihmu.”
“Apa maksudmu?”
“Kau lebih berguna dibandingkan
denganku.”
Kwangmin bangkit dari
ranjang Sungmin. Ia tersenyum ke arah Sungmin dan mendekatinya. Pluk! Ia
mengusap puncak kepala Sungmin pelan. Sungmin hanya menatap kepergian namja
itu.
***
Minwoo menepikan Silver Hawknya di halaman
rumahnya yang cukup luas. Ia menatap cip di tangannya. Bruk! Tiba-tiba seekor
kucing masuk ke dalam mobil Minwoo dan membuat cip itu terjatuh.
“Omo! Yak! Cip ku!” teriak Minwoo sambil menurunkan kucingnya.
Minwoo terus mencari-cari cipnya, tapi sayang
tidak ketemu. Ia terus memutari sekeliling mobilnya mencari cip itu. Lagi-lagi
tidak ketemu. Karena kesal, ia kemudian masuk ke rumahnya dengan sedikit
bantingan pada pintunya.
***
#FLASHBACK POV#
Entah apa yang sedang Sungmin lakukan.
Kode-kode itu terus memenuhi layar iPadnya. Processing. Pip. Success. Sesaat ia
menampilkan smirknya. Ia langsung memasukkan beberapa nomor di layarnya. Klik.
Tombol hijau berbentuk telepon itu menyala. Calling. Terdengarlah nada
panggilan. Connected.
“Tuan Jin Soo Man?” ucapan Sungmin dibuat seperti suara lain.
“Ne?” balasnya.
“Aku mempunyai berkas-berkasmu. Hasil penggelapan uangmu.”
“Mwo?! Tidak mungkin!” suara diseberang terdengar begitu shock.
“Kau bekerja sama dengan dongsaengmu kan? Yang bernama Tuan Jin Song
Man?”
“Sebenarnya apa maumu?”
“Kau tanya keinginanku? Cukup mudah. Berikan berkas-berkas tentang
agresi militer tahun 2001. Temui aku di Jalan Yuwon-il-gu. Pukul 9:00 am tepat.
Telat, sampai bertemu di penjara.”
“Kau pasti L kan?! You’re bastard, L!”
“Bingo! Kau sudah tahu kan kelebihanku? Bagaimana?”
“Baiklah. Seperti yang kau ucapkan.”
Pip. Sungmin tersenyum senang. Tapi masih ada
rasa gundah di hatinya. Siapa pelaku utama itu? Ya, itulah yang ada dalam
pikiran yeoja itu. Yongkyo yang sedang menyetir Sweety Yellow miliknya menatap
Sungmin.
“Kau berlaku terlalu keren untuk seorang yeoja,” canda Yongkyo.
“Ye?” Sungmin masih belum mengalihkan pandangan dari iPad miliknya.
“Mungkin jika kau seorang namja aku akan menyukaimu.”
“Jika aku namja, aku tak akan memilihmu. Kau terlalu aneh dan
hyperaktif. Aku lebih menyukai yeoja sexy, dan semacamnya,” ucap Sungmin santai
dan langsung mendapat pendelikan khas Yongkyo.
“Yak! Ada apa dengan otakmu, Sungmin-ah?! Jangan-jangan Kai menularkan
virus yadong padamu!!”
“Pabo! Sudah sana menyetir dengan benar!” ucap Sungmin santai.
Yongkyo menghembuskan poninya kesal.
Terkadang, Sungmin akan menampilkan sisi menyebalkannya. Hal inilah yang paling
dibenci Yongkyo. Sungmin sendiri masih dengan santainya mendengarkan musik.
Ciiit! Jin Soo Man dan Jin Song Man sudah tiba
lebih dulu di sana. Sungmin langsung keluar dari mobilnya. Tangan kirinya
memegang berkas itu. Wajahnya benar-benar tertutup. Masker, tudung jaketnya,
dan softlensnya berhasil membuatnya seperti orang lain. Lebih tepatnya seperti
seorang namja. Ia hanya berbalut kaos hitam, jaket kulit, dan jeans hitam yang
membuat orang yakin, ia benar-benar seorang namja.
“Ige berkas-berkas yang kau inginkan! Mana berkas-berkasku?” Jin Soo Man
langsung melemparkan berkas yang ia pegang ke arah Sungmin.
Grep! Dengan lincah Sungmin menangkapnya
dengan satu tangan. Ia membuka kumpulan kertas itu dengan teliti. Ada sebuah
disket. Agresi militer 2001. Itu judulnya. Bingo! Ini yang ia cari selama ini. Ia
langsung melemparkan berkas yang ada di tangan kirinya pada Jin Song Man.
“Kami tidak dengan mudah melepaskan berkas itu! Kembalikan atau kau mati
di tangan kami!” ucap Jin Soo Man sambil mengeluarkan pistolnya, begitu pula
dengan Jin Song Man.
“Kalian yakin akan melawan sosok L?” Sungmin seperti menyimpan sesuatu
di balik badannya.
Kedua pistol itu tepat mengarah pada bagian
kepala dan jantung Sungmin. Tangan mereka sudah siap untuk meluncurkan peluru
itu. Dor! Dor! Tembakan pertama. Dor! Dor! Tembakan kedua. Berhasil yeoja itu
hindari hanya dengan merunduk. Dor! Dor! Dor! Dor! Tepat sasaran. Tembakan dari
Sungmin berhasil membuat kedua namja itu terkapar bersimbah darah beserta
berkas keburukan mereka di tangannya masing-masing. Ya, apa lagi selain berkas
penggelapan uang mereka.
***
Brak! Bugh! Bugh! Bugh! Brak! Entah sudah
menjadi apa wajah Sungmin dan tubuhnya. Ia terus diserang oleh namjadeul
berotot besar itu. Ia boleh kalah saat ini, tapi tidak untuk nanti. Darah segar
terus mengalir dari mulutnya. Ia sedang sakit, tubuhnya terlalu lemah untuk
melawan mereka. Bruk! Punggungnya mendarat tak mulus di tembok bercat putih
itu. Aneh. Senyuman manisnya itu terus muncul dari balik masker hitamnya.
“Jadi kau yang bernama ‘L’ itu? Begitu lemah dan menyedihkan,” ucap Yang
Min Hyun, target ke-4 Sungmin.
Sret! Yang Min Hyun langsung menarik masker
yang tergantung di wajah Sungmin. Tereksposlah wajah Sungmin sesungguhnya. Ia
tersenyum, hal ini membuat Yang Min Hyun sedikit khawatir.
“Neo!” Yang Min Hyun membelalakkan matanya.
“Jal jinaeseyo, ahjussi? Selamat tinggal,” ucap Sungmin, yang lagi-lagi
tersenyum.
Dor! Dor! Dor! Darah segar itu terus menetes
dari tubuh Yang Min Hyun. Bruk! Namja itu terjatuh dan menampakkan sosok
Yongkyo yang masih mengarahkan pistolnya ke arah Yang Min Hyun.
“Yak! Wajahmu penuh luka! Sudah ku bilang kan?! Jangan lakukan hal seperti itu lagi!” omel
Yongkyo sambil membantu Sungmin berdiri.
“Itu karena aku tau kau lemah. Jika aku tidak melakukannya. Kita pasti
akan kalah,” ucap Sungmin santai.
“Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu,” gerutu Yongkyo.
#FLASHBACK POV END#
***
Sungmin masih duduk di kursinya. Tangannya
sibuk menandatangani berkas-berkas di hadapannya. Sungmin, ia adalah pewaris
utama JM Group. Perusahaan besar yang bergerak di bidang komunikasi,
pertambangan, industri pemasaran, dan transportasi. Kedua orangtua mereka
sengaja mewariskannya pada Sungmin karena mereka menganggap Sungmin lebih mampu
melakukannya dibanding Kwangmin.
Tok... Tok... Tok...
“Ne?” mata Sungmin tetap tak teralihkan dari kertas-kertas di
hadapannya.
“Nona muda Jo, bolehkah saya masuk?” sahut suara dari luar.
“Ne, masuklah.”
Yeoja yang tampak lebih tua beberapa tahun
dari Sungmin langsung membuka pintu ruangan Sungmin. Ia membungkukkan tubuhnya
sedikit. Sungmin langsung merapikan berkas-berkasnya. Yeoja itu tampak rapi
dengan setelan resminya.
“Wae geurae?” tanya Sungmin.
“Sajangnim, tadi saya menerima telepon dari Nona Park Tae Rin. Dia
bilang ingin bertemu dengan sajangnim di Coco Cafe.”
“Ah, ye. Gamsa hamnida Injung-ssi. Tolong rapikan mejaku,” ucap Sungmin
sambil meletakkan pulpennya.
***
Sungmin menghentikan langkahnya sebentar. Ia
membetulkan jas kerjanya. Begitu terlihat formal. Ia langsung melangkahkan
kakinya. Grep! Chu~ Bibir
itu langsung menyentuh bibir Sungmin. Plak! Tangan Sungmin mendarat di pipi
mulus namja di hadapannya. Her first kiss! Buliran air mata membasahi kedua
pipi yeoja itu.
“Saekki namja!” bentak Sungmin, ia langsung melangkahkan kakinya
meninggalkan namja itu.
“Neo gateun yeoja jinjja cheo
eumiya. Namjaneun da nikkeoran saenggakhe? (Baru tau ada wanita sepertimu. Kau
pikir lelaki semuanya milikmu?)” ucapan namja yang ternyata adalah Minwoo itu
langsung membuat Sungmin menghentikan langkahnya.
Plak! Tamparan kedua itu mendarat lagi di pipi
yang barusan Sungmin tampa. Grep! Tangan Minwoo mencengkeram pergelangan tangan
Sungmin. Mata itu langsung mengunci tatapan Sungmin.
“Kau bersama Kai-hyung kemarin. Tampak mesra. Kenapa kau melakukannya?”
ucap Minwoo.
“Tidak ada hubungannya denganmu. Kau bukan siapa-siapaku. Kau tak berhak
mengaturku. Lepaskan!”
“Tidak akan.”
“Wae? Kau cemburu padaku, hm? Itu tidak mungkin, kan? Lepaskan aku.”
“Ne. Aku cemburu. Kau dengar? Aku cemburu. Aku mencintaimu. Saranghae.”
Cengkeraman Minwoo mengendur setelah
mengucapkan ‘saranghae’ pada Sungmin. Sungmin menatapnya dingin. Yeoja itu
melepaskan tangannya dari cengkeraman Minwoo dan pergi.
“Kau harus menjadi milikku Minnie Mouse. Akan ku lakukan apapun. Tak ku
biarkan Kai-hyung mendapatkanmu,” batin Minwoo.
***
Coco Cafe. Tulisan itu terpampang jelas di
atas pintu kaca di hadapan Sungmin. Sungmin menunduk sebentar. Suasana hatinya
mendadak berubah lagi. Ia langsung melangkah masuk ke cafe itu dengan langkah
riang. Bola matanya terus berputar mencari sosok yang dicarinya. Park Tae Rin.
Yeoja itu tampak sedang berbincang dengan seorang namja tampan. Sungmin
berjalan mendekati mereka berdua.
“Jeosonghamnida, apa kedatanganku mengganggu kalian?” ucap Sungmin
sambil membungkukkan sedikit badannya.
“Kau yang bernama Jo Sung Min? Anni. Kau tak mengganggu kami. Malah kami
yang mengharap kedatanganmu, Sungmin-ssi,” ucap namja itu sambil tersenyum.
Sungmin menaikkan sebelah alisnya. Ia bingung.
Tatapan tajamnya mengarah pada Taerin seakan mengisyaratkan sesuatu pada yeoja
itu. Taerin hanya tertawa kecil melihat ekspresi sahabatnya.
“Duduklah Minnie, jangan terlalu formal begitu,” ucap Taerin.
“Ehm, jadi ada apa?” tanya Sungmin.
“Aku ingin berpamitan padamu,” jawab
Taerin dengan senyuman manisnya.
“Mwo?! Yak! Neo...” Sungmin menatapnya kaget.
“Ne, Sungmin-ssi. Aku akan membawanya ke China setelah pernikahan kami,”
ucap namja itu.
“Kau sudah menikah dengannya? Jadi dia neoui nampyeon?” Sungmin menatap
sepasang suami istri itu seolah dengan pandangan tak percaya.
“Kau tak percaya padaku?” tanya Taerin.
“Sepertinya. Tapi, bagaimana bisa?”
“Kau tau kan V-Ka Bar bangkrut? Waktu itu aku benar-benar frustasi
setelah V-Ka Bar milikku bangkrut. Kau tau? Rasanya aku ingin mati saat itu.
Aku bahkan hampir melompat ke Sungai Han. Untungnya ada dia, Xi Lu Han. Luhan
lah yang menyadarkanku. Ia yang mengubahku seperti saat ini. Ia bahkan
menikahiku. Lihatlah aku. Aku sudah tidak terlihat yadong seperti dulu kan?”
cerita Taerin panjang lebar.
“Ehm, sepertinya kau masih terlihat sedikit yadong,” Sungmin lagi-lagi
bicara blak-blakan.
Pletak! Jitakan Taerin mendarat dengan
indahnya di kepala Sungmin. Sungmin mengaduh sedikit. Perilaku kedua yeoja ini
berhasil mengundang tawa Luhan. Luhan bahkan tak berhenti tertawa melihat aksi
konyol kedua yeoja ‘weird’ ini.
***
Yongkyo sedang membicarakan hal menarik
bersama Sungmin. Mereka terlihat sangat tertarik dengan hal yang masing-masing
mereka ucapkan. Sungmin dan Yongkyo kadang tertawa bersama dan tiba-tiba diam
tetapi sedetik kemudian tertawa lagi. Seketika tawa mereka mereda setelah seseorang
mendekati mereka.
“Yongkyo-ah, sepertinya aku harus pergi,” Sungmin menatap dingin
Kwangmin sekilas sebelum berlalu.
Kwangmin menatap punggung dongsaengnya yang
semakin menjauh. Yongkyo mendekatinya sambil tersenyum. Kwangmin malah menatapnya
aneh.
“Gidaryeobwa. Neoui nari godol tenikka (Coba tunggulah. Karena harimu
pasti segera datang),” Yongkyo menggenggam erat tangan Kwangmin seakan membagi
kekuatan yang dimilikinya pada Kwangmin agar namja itu tetap bertahan
menghadapi dongsaengnya.
“Ireon hyeonsiri nan sirheo. (Kenyataan seperti ini aku tidak suka)”,
ucap Kwangmin.
***
Mata Sungmin masih belum teralihkan dari
laptopnya. Pekerjaannya semakin banyak. Ia menatap sekilas jam yang ada di
samping laptopnya. Sudah terlalu larut untuk lembur.
“Mungkin lebih baik aku tidur di sini saja,” gumam Sungmin sambil
melepaskan dua kancing kemejanya.
Sungmin menghempaskan tubuhnya ke kursinya.
Laptopnya masih menyala. Sesaat ia memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ya,
proyek yang harus dijalankannya karena harabojinya. Mereka semua menyuruh
Sungmin untuk mengurusi hampir semua perusahaan. Untuk Kwangmin, hanya diberi
satu perusahaan untuk dijalankan. Sedangkan yang lain milik Sungmin.
“Hoaaaam... Kepalaku semakin terasa berat,” Sungmin menguap lebar.
Drrrttt.... Drrrttt...
Ponselnya bergetar. Ia hanya memandangi
ponselnya saja yang terus berdering dan terdengar nada dering. Ia kemudian
mengambilnya. Haraboji. Itulah nama yang tertulis di layar ponselnya.
“Untuk apa malam-malam begini haraboji
meneleponku?” gumam Sungmin sambil menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
‘Sungmin-ie! Apa kau sudah tidur?’ suara khas
itu mulai terdengar di telinga Sungmin.
‘Aku belum tidur haraboji. Waeyo?’
‘Besok haraboji akan datang menjemputmu. Tepat
pukul 6:30 pm. Haraboji akan meminta izin pada songsaenimmu.’
‘Mwo? Untuk apa haraboji? Itu terlalu
berlebihan. Jika haraboji ingin menemuiku pukul 9 malam saja.’
‘Tidak bisa. Kita akan melakukan pertemuan
keluarga besok.’
‘Bisakah diundur saat hari libur saja? Jebal
haraboji.’
‘ANNI!’
Pip. Sambungan telepon itu langsung mati
mendadak. Sungmin menatap kesal ponselnya. Apa maunya haraboji? Apakah tidak
ada hari selain besok? Sungmin yang kesal langsung membantingkan tangannya ke
meja.
***
Sungmin baru saja akan maju untuk menuliskan
jawabannya di papan tulis. Tiba-tiba beberapa orang berpakaian ala parlente
masuk dan langsung membawa pergi layaknya seperti seorang tahanan. Teman-teman
sekelasnya memandang takjub adegan yang seperti film itu. Salah seorang dari
mereka masuk dan membungkukkan badannya pada Kim songsaenim.
“Kami meminta izin pada Kim songsaenim untuk membawa Nona Muda Jo pergi.
Ini surat izinnya. Gamsa hamnida,” ucap orang itu sambil memberikan sebuah amplop
pada Kim songsaenim.
Orang itu langsung pergi setelah Kim
songsaenim menerimanya. Semuanya masih terbengong memandangi hal itu kecuali
Yongkyo dan Yeonmi yang memang sudah tahu latar belakang keluarga Jo. Tapi yang
mereka berdua pikir adalah ‘Ada apa sebenarnya? Apa terjadi sesuatu pada
Sungmin?’
“Wuah keren... Sungmin memang keren ya,” komentar salah seorang namja di
kelas itu.
“Aku tak menyangka akan sekelas dengannya. Keren...” komentar yang lain.
To Be Continued...
Lagi keliling2 eh ketemu fanfic ini
BalasHapuskeren ceritanya, bikin penasaran
bahasanya jg enak
bagus thor, lanjut dong. Penasaraan