Ari,
sahabatku sejak kecil. Entah kenapa sekarang dia berubah. Kehidupannya berubah
semenjak kedua orangtuanya bercerai. Kini dia menjadi anak yang tidak karuan.
Dia selalu berkata kasar kepada temannya dan jika dia dinasihati oleh ayahnya
dia selalu melawan dan membantah. Bahkan, kata teman sekelasnya dia sering
membolos atau kabur saat pelajaran.
“Ri, Ari,” panggilku saat
melihatnya sedang duduk di trotoar dekat sekolahku.
Ari kemudian berdiri tapi dia tidak
menengok ke arahku, dia malah kabur sambil menyembunyikan sesuatu ke dalam saku
celananya.
“Apa ya yang tadi dimasukkan Ari
ke dalam saku celananya? Aneh banget sih sikapnya akhir-akhir ini,” batinku.
Ari baru saja pulang ke rumah.
Aku memang menginap di rumah Ari karena ayahnya menyuruhku untuk menemaninya
selama beliau pergi dinas. Aku kemudian mendatanginya.
“Ri, kok pulangnya malem banget?
Abis dari mana?” tanyaku.
“Eh, Ji, kamu tau kan aku tuh
emang biasa pulang jam segini. Santai aja. Lagian ayahku juga nggak di sini
jadi kamu nggak bakalan disalahin kok,” jawab Ari dengan entengnya.
Ari lalu menuju ke kamarnya. Aku
juga menuju ke kamar yang ada di sebelah kamar Ari. Aku hanya tiduran saja di
dalam kamar. Tiba-tiba ada suara yang terdengar dari kamar Ari. Suara itu
terdengar seperti suara desahan seseorang. Karena penasaran, aku segera berjalan
menuju ke kamar Ari.
Perlahan aku membuka pintu kamar
Ari. Ternyata pintu kamarnya tidak dikunci. Aku melihat Ari yang sedang
terkapar di lantai. Kondisinya setengah sadar dan kemudian dia pingsan. Aku mengangkatnya
ke atas kasur. Setelah aku membaringkannya dan akan keluar dari kamar itu, aku
menemukan sesuatu yang tergeletak di lantai dan mungkin itu adalah penyebab Ari
pingsan. Itu adalah sebuah botol kecil berisi pil. Dugaan sementaraku, itu
adalah narkoba. Tapi aku masih belum yakin. Apa benar Ari senekat itu untuk
memakai narkoba?
Peristiwa itu sudah terjadi
berulang kali. Aku selalu melihat botol pil itu ada di samping tubuh Ari ketika
dia hampir pingsan atau dengan kata lain setengah sadar. Kini aku mulai yakin
bahwa pil itu adalah narkoba. Aku akan coba menanyakannya pada Ari.
Ari sedang duduk di sofa. Aku
pun duduk di sampingnya. Sepertinya suasana hatinya sedang tidak buruk. Lebih
baik aku menanyakan tentang pil itu sekarang.
“Ri, pil yang biasa di sampingmu
itu apaan sih?” tanyaku.
“Kamu kenapa sih, Ji?” dia balik
bertanya.
“Enggak. Aku cuma pengen tau
aja. Ri, kamu pake ya?”
“E... Enggak kok,” dia sedikit
kaget.
“Kalo nggak, kenapa pil itu
selalu bikin kamu jadi setengah sadar dan pingsan?”
“Aji, Aji... Kenapa? Kenapa
tanya itu? Itu bukan urusanmu aku pake apa nggak.”
“Jadi bener kamu pake?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Ya ampu, Ari. Ri, kamu itu
kenapa sih pake gituan?” aku kaget setengah mati gara-gara tahu sahabat dekatku
memakai narkoba.
“Kamu pengen tau alesannya?”
“Iya. Kenapa?”
“Itu semua gara-gara orangtuaku,
Ji. Aku juga pengen punya orangtua yang utuh. Aku pengen banget ketemu ibuku
dan kakakku. Tapi aku nggak tau dimana. Udah 13 tahun, Ji. Selama itu aku nggak
dapet kasih sayang ibuku. Udah aku cari kemana-mana, tapi nggak pernah ada
hasilnya. Ayahku. Kamu tau kan ayahku kayak gimana? Dia selalu mentingin urusan
kantornya. Dia jarang pulang. Aku sendirian, Ji. Aku pengen banget punya
keluarga yang utuh. Itu semua alesannya aku pake narkoba. Aku sengaja pake itu
biar aku bisa lupain semuanya. Biar aku bisa hapus semua kisah tragis itu.
Walaupun sampe saat ini belum berhasil,” cerita Ari panjang lebar dan nampak
matanya berkaca-kaca.
Aku hanya terdiam mendengar
semua ceritanya. Memang aku juga tahu orangtuanya berpisah sejak dia berumur 3
tahun. Tapi aku tidak tahu seperti apa perasaannya. Tapi kenapa dia pakai
narkoba segala? Aku yakin itu tidak akan menghapuskan kesedihannya. Selain itu
narkoba juga akan merusak tubuhnya dan akan menghabiskan uangnya.
Beberapa hari kemudian, ayahnya
Ari pulang dari dinas luar. Sayangnya, Ari sedang tidak ada di rumah. Aku juga
tidak tahu dia pergi kemana. Aku hanya bisa membantu membawa masuk
barang-barang yang dibawa ayahnya Ari ke dalam rumah.
Saat ayahnya Ari sedang menonton
televisi dan aku sedang membereskan buku-bukuku, tia-tiba ayahnya Ari
memanggilku.
“Aji, si Ari kemana? Kok dari
tadi om nggak liat dia?” tanya Om Bagus, ayahnya Ari.
“Maaf, Om. Aji juga nggak tau,”
jawabku.
“Ji, Ari selama ini ngerepotin
kamu ya?” tanya Om Bagus lagi.
“Nggak kok, Om. Sama sekali
nggak ngerepotin, Om.”
“Ji, kenapa ya sekarang Ari
berubah? Om pengen banget Ari rajin belajar kayak kamu, Ji. Om juga pengen kalo
Ari nggak nakal kayak sekarang ini.”
Aku hanya diam saja. Aku bingung harus mengatakan apa pada Om
Bagus. Apa aku harus bilang bahwa Ari memakai narkoba? Tapi bagaimana nanti
respon Om Bagus? Aku takut terjadi sesuatu pada Om Bagus. Tapi jika
disembunyikan terus-menerus juga akan memperburuk kehidupan Ari. Aku harus
bagaimana? Lagipula Ari juga mengancamku jika aku mengatakannya pada orang
lain.
Hari sudah semakin gelap. Ari
belum juga pulang. Aku harus mengatakan apa jika ditanya oleh Om Bagus? Apa aku
harus berbohong? Aku bingung.
“Aji, apa Ari memakai narkoba?”
Om Bagus sudah berdiri di sampingku.
“A.. Aji... Aji nggak tau, Om,”
aku berbohong.
“Aji, Om pengen kamu jujur,” Om
Bagus sepertinya tahu aku berbohong.
“I..Iya, Om. Ari pake narkoba.
Sebenernya juga udah lama, Om. Tapi Aji taunya baru beberapa hari yang lalu,”
aku pun akhirnya jujur.
Om Bagus terdiam sejenak.
“Ari... Kenapa kamu seperti ini. Ayah tau kamu kesepian dan
kamu marah sama ayah. Tapi kenapa kamu pake narkoba, Ri...” Om Bagus menitikkan
air matanya.
Beberapa saat kemudian Ari datang. Om Bagus segera
menghampiri Ari dengan langkah cepat. Ari langsung menghindar. Terlihat dari
wajahnya, bahwa dia tidak mau bertemu dengan Om Bagus.
“Ari! Kenapa kamu pake narkoba?!” Om Bagus marah besar.
“Oh. Ayah udah tau. Emang kenapa kalo Ari pake narkoba?
Ayah juga nggak bakalan khawatirin Ari kan? Ayah kan cuma tau sama kerjaan ayah
doang? Udahlah, nggak penting.”
“Ari! Kenapa kamu berpikir
gitu?! Kamu tau akibat pake narkoba kan?!”
“Kenapa?! Ayah emang peduli?
Nggak kan?! Ayah bahkan nggak pernah pulang. Yang ada dipikiran ayah cuma
kerjaan doang. Aku tau akibat narkoba. Paling over dosis dan habis itu mati.
Emang ayah peduli kalo aku mati?! Nggak bakalan ayah peduli!” Ari masuk ke
kamar dan menggebrak pintu kamarnya.
Om Bagus hanya terdiam. Mungkin
dia sedang menyesali perbuatannya selama ini. Karena dia jarang pulang, anaknya
jadi tidak terurus.
Setelah kejadian itu, orangtua
dan anak ini saling diam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Dan semenjak
itu, aku bertemu ibu dan kakaknya Ari. Aku memohon kepada mereka agar mau
menemui Ari yang kondisinya sedang tidak baik saat ini.
Matahari tersenyum memancarkan
sinarnya, ibu dan kakaknya Ari datang bersamaku untuk menemui Ari. Ari masih
tertidur nyenyak. Ibunya duduk disampingnya sambil mengelus rambutnya. Ari
terbangun dan menatap ibunya.
“Ari... Kamu sudah besar, Nak?”
tanya Tante Nila.
“Ibu? Kakak?” Ari kaget.
“Iya, sayang. Ini ibu sama kak
Andri,” jelas Tante Nila.
Ari langsung memeluk ibunya
erat-erat. Dia kemudian menghampiri kakaknya dan memeluknya. Mereka sangat
berbahagia. Tangisan bahagia pun mendarat di pipi mereka masing-masing.
“Ari, ibu tau kalo kamu pake
narkoba. Kenapa?” tanya Tante Nila pada Ari.
“Ari tau Ari salah. Ibu juga
pasti udah tau alesannya. Maafin Ari, Bu,” jawab Ari tertunduk.
“Iya. Ibu maafin kamu. Ibu
pengen kamu kembali kayak dulu. Ayah dan ibu juga mau rajuk lagi. Kamu mau kan
direhabilitasi?”
“Iya, Bu. Ari mau.”
Setelah 6 bulan di panti
rehabilitasi, Ari kembali seperti dulu lagi. Ari berubah kembali menjadi anak
yang baik. Dia sadar, narkoba tidak akan menghapuskan luka hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar