Kamis, 10 Mei 2012

[CERPEN] ELEGI


Ari, sahabatku sejak kecil. Entah kenapa sekarang dia berubah. Kehidupannya berubah semenjak kedua orangtuanya bercerai. Kini dia menjadi anak yang tidak karuan. Dia selalu berkata kasar kepada temannya dan jika dia dinasihati oleh ayahnya dia selalu melawan dan membantah. Bahkan, kata teman sekelasnya dia sering membolos atau kabur saat pelajaran.
                “Ri, Ari,” panggilku saat melihatnya sedang duduk di trotoar dekat sekolahku.
                Ari kemudian berdiri tapi dia tidak menengok ke arahku, dia malah kabur sambil menyembunyikan sesuatu ke dalam saku celananya.
                “Apa ya yang tadi dimasukkan Ari ke dalam saku celananya? Aneh banget sih sikapnya akhir-akhir ini,” batinku.
                Ari baru saja pulang ke rumah. Aku memang menginap di rumah Ari karena ayahnya menyuruhku untuk menemaninya selama beliau pergi dinas. Aku kemudian mendatanginya.
                “Ri, kok pulangnya malem banget? Abis dari mana?” tanyaku.
                “Eh, Ji, kamu tau kan aku tuh emang biasa pulang jam segini. Santai aja. Lagian ayahku juga nggak di sini jadi kamu nggak bakalan disalahin kok,” jawab Ari dengan entengnya.
                Ari lalu menuju ke kamarnya. Aku juga menuju ke kamar yang ada di sebelah kamar Ari. Aku hanya tiduran saja di dalam kamar. Tiba-tiba ada suara yang terdengar dari kamar Ari. Suara itu terdengar seperti suara desahan seseorang. Karena penasaran, aku segera berjalan menuju ke kamar Ari.
                Perlahan aku membuka pintu kamar Ari. Ternyata pintu kamarnya tidak dikunci. Aku melihat Ari yang sedang terkapar di lantai. Kondisinya setengah sadar dan kemudian dia pingsan. Aku mengangkatnya ke atas kasur. Setelah aku membaringkannya dan akan keluar dari kamar itu, aku menemukan sesuatu yang tergeletak di lantai dan mungkin itu adalah penyebab Ari pingsan. Itu adalah sebuah botol kecil berisi pil. Dugaan sementaraku, itu adalah narkoba. Tapi aku masih belum yakin. Apa benar Ari senekat itu untuk memakai narkoba?
                Peristiwa itu sudah terjadi berulang kali. Aku selalu melihat botol pil itu ada di samping tubuh Ari ketika dia hampir pingsan atau dengan kata lain setengah sadar. Kini aku mulai yakin bahwa pil itu adalah narkoba. Aku akan coba menanyakannya pada Ari.
                Ari sedang duduk di sofa. Aku pun duduk di sampingnya. Sepertinya suasana hatinya sedang tidak buruk. Lebih baik aku menanyakan tentang pil itu sekarang.
                “Ri, pil yang biasa di sampingmu itu apaan sih?” tanyaku.
                “Kamu kenapa sih, Ji?” dia balik bertanya.
                “Enggak. Aku cuma pengen tau aja. Ri, kamu pake ya?”
                “E... Enggak kok,” dia sedikit kaget.
                “Kalo nggak, kenapa pil itu selalu bikin kamu jadi setengah sadar dan pingsan?”
                “Aji, Aji... Kenapa? Kenapa tanya itu? Itu bukan urusanmu aku pake apa nggak.”
                “Jadi bener kamu pake?”
                “Iya. Emang kenapa?”
                “Ya ampu, Ari. Ri, kamu itu kenapa sih pake gituan?” aku kaget setengah mati gara-gara tahu sahabat dekatku memakai narkoba.
                “Kamu pengen tau alesannya?”
                “Iya. Kenapa?”
                “Itu semua gara-gara orangtuaku, Ji. Aku juga pengen punya orangtua yang utuh. Aku pengen banget ketemu ibuku dan kakakku. Tapi aku nggak tau dimana. Udah 13 tahun, Ji. Selama itu aku nggak dapet kasih sayang ibuku. Udah aku cari kemana-mana, tapi nggak pernah ada hasilnya. Ayahku. Kamu tau kan ayahku kayak gimana? Dia selalu mentingin urusan kantornya. Dia jarang pulang. Aku sendirian, Ji. Aku pengen banget punya keluarga yang utuh. Itu semua alesannya aku pake narkoba. Aku sengaja pake itu biar aku bisa lupain semuanya. Biar aku bisa hapus semua kisah tragis itu. Walaupun sampe saat ini belum berhasil,” cerita Ari panjang lebar dan nampak matanya berkaca-kaca.
                Aku hanya terdiam mendengar semua ceritanya. Memang aku juga tahu orangtuanya berpisah sejak dia berumur 3 tahun. Tapi aku tidak tahu seperti apa perasaannya. Tapi kenapa dia pakai narkoba segala? Aku yakin itu tidak akan menghapuskan kesedihannya. Selain itu narkoba juga akan merusak tubuhnya dan akan menghabiskan uangnya.
                Beberapa hari kemudian, ayahnya Ari pulang dari dinas luar. Sayangnya, Ari sedang tidak ada di rumah. Aku juga tidak tahu dia pergi kemana. Aku hanya bisa membantu membawa masuk barang-barang yang dibawa ayahnya Ari ke dalam rumah.
                Saat ayahnya Ari sedang menonton televisi dan aku sedang membereskan buku-bukuku, tia-tiba ayahnya Ari memanggilku.
                “Aji, si Ari kemana? Kok dari tadi om nggak liat dia?” tanya Om Bagus, ayahnya Ari.
                “Maaf, Om. Aji juga nggak tau,” jawabku.
                “Ji, Ari selama ini ngerepotin kamu ya?” tanya Om Bagus lagi.
                “Nggak kok, Om. Sama sekali nggak ngerepotin, Om.”
                “Ji, kenapa ya sekarang Ari berubah? Om pengen banget Ari rajin belajar kayak kamu, Ji. Om juga pengen kalo Ari nggak nakal kayak sekarang ini.”
Aku hanya diam saja. Aku bingung harus mengatakan apa pada Om Bagus. Apa aku harus bilang bahwa Ari memakai narkoba? Tapi bagaimana nanti respon Om Bagus? Aku takut terjadi sesuatu pada Om Bagus. Tapi jika disembunyikan terus-menerus juga akan memperburuk kehidupan Ari. Aku harus bagaimana? Lagipula Ari juga mengancamku jika aku mengatakannya pada orang lain.
                Hari sudah semakin gelap. Ari belum juga pulang. Aku harus mengatakan apa jika ditanya oleh Om Bagus? Apa aku harus berbohong? Aku bingung.
                “Aji, apa Ari memakai narkoba?” Om Bagus sudah berdiri di sampingku.
                “A.. Aji... Aji nggak tau, Om,” aku berbohong.
                “Aji, Om pengen kamu jujur,” Om Bagus sepertinya tahu aku berbohong.
                “I..Iya, Om. Ari pake narkoba. Sebenernya juga udah lama, Om. Tapi Aji taunya baru beberapa hari yang lalu,” aku pun akhirnya jujur.
                Om Bagus terdiam sejenak.
“Ari... Kenapa kamu seperti ini. Ayah tau kamu kesepian dan kamu marah sama ayah. Tapi kenapa kamu pake narkoba, Ri...” Om Bagus menitikkan air matanya.
Beberapa saat kemudian Ari datang. Om Bagus segera menghampiri Ari dengan langkah cepat. Ari langsung menghindar. Terlihat dari wajahnya, bahwa dia tidak mau bertemu dengan Om Bagus.
“Ari! Kenapa kamu pake narkoba?!” Om Bagus marah besar.
“Oh. Ayah udah tau. Emang kenapa kalo Ari pake narkoba? Ayah juga nggak bakalan khawatirin Ari kan? Ayah kan cuma tau sama kerjaan ayah doang? Udahlah, nggak penting.”
                “Ari! Kenapa kamu berpikir gitu?! Kamu tau akibat pake narkoba kan?!”
                “Kenapa?! Ayah emang peduli? Nggak kan?! Ayah bahkan nggak pernah pulang. Yang ada dipikiran ayah cuma kerjaan doang. Aku tau akibat narkoba. Paling over dosis dan habis itu mati. Emang ayah peduli kalo aku mati?! Nggak bakalan ayah peduli!” Ari masuk ke kamar dan menggebrak pintu kamarnya.
                Om Bagus hanya terdiam. Mungkin dia sedang menyesali perbuatannya selama ini. Karena dia jarang pulang, anaknya jadi tidak terurus.
               Setelah kejadian itu, orangtua dan anak ini saling diam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Dan semenjak itu, aku bertemu ibu dan kakaknya Ari. Aku memohon kepada mereka agar mau menemui Ari yang kondisinya sedang tidak baik saat ini.
                Matahari tersenyum memancarkan sinarnya, ibu dan kakaknya Ari datang bersamaku untuk menemui Ari. Ari masih tertidur nyenyak. Ibunya duduk disampingnya sambil mengelus rambutnya. Ari terbangun dan menatap ibunya.
                “Ari... Kamu sudah besar, Nak?” tanya Tante Nila.
                “Ibu? Kakak?” Ari kaget.
                “Iya, sayang. Ini ibu sama kak Andri,” jelas Tante Nila.
                Ari langsung memeluk ibunya erat-erat. Dia kemudian menghampiri kakaknya dan memeluknya. Mereka sangat berbahagia. Tangisan bahagia pun mendarat di pipi mereka masing-masing.
                “Ari, ibu tau kalo kamu pake narkoba. Kenapa?” tanya Tante Nila pada Ari.
                “Ari tau Ari salah. Ibu juga pasti udah tau alesannya. Maafin Ari, Bu,” jawab Ari tertunduk.
                “Iya. Ibu maafin kamu. Ibu pengen kamu kembali kayak dulu. Ayah dan ibu juga mau rajuk lagi. Kamu mau kan direhabilitasi?”
                “Iya, Bu. Ari mau.”
                Setelah 6 bulan di panti rehabilitasi, Ari kembali seperti dulu lagi. Ari berubah kembali menjadi anak yang baik. Dia sadar, narkoba tidak akan menghapuskan luka hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar